Jakarta, 18 September 2024 – Ajang The 10th Indonesia International Geothermal Convention & Exhibition (IIGCE) 2024 mengukuhkan posisi energi panas bumi sebagai energi hijau yang strategis untuk membantu agenda transisi energi nasional dan pencapaian target Net Zero Emission (NZE) 2060. Untuk merealisasikan potensi ini, diperlukan kapasitas yang mumpuni serta kolaborasi dalam menggali sumber daya dan mempercepat pengembangan energi panas bumi.
IIGCE yang digelar di Jakarta Convention Center pada 18-20 September 2024, dibuka oleh Presiden RI Joko Widodo bersama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, Rabu (18/9). Dalam sambutannya, Presiden Joko Widodo menegaskan pentingnya peran panas bumi bagi masa depan energi Indonesia dan komitmen penuh pemerintah untuk mendukung dan memfasilitasi kolaborasi antara berbagai pihak guna mewujudkan pengembangan panas bumi yang berdampak nyata pada kesejahteraan rakyat dan keberlanjutan. Sementara itu, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyampaikan bahwa dengan sumber daya 24 GW, Indonesia memiliki cadangan panas bumi terbesar kedua setelah Amerika Serikat, yang menjadikannya salah satu instrumen penting dalam meningkatkan porsi energi baru dan terbarukan (EBT) dalam bauran energi nasional.
Pada momentum IIGCE ini, PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) (IDX: PGEO) turut ambil bagian dalam special session mengenai kolaborasi antara industri panas bumi dan pemerintah, serta peluang dan tantangan yang ada. Pembicara lainnya termasuk Wakil Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Eddy Soeparno, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Satyawan Pudyatmoko, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jisman P. Hutajulu, Direktur Panas Bumi, Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Gigih Udi Atmo, Direktur Utama Star Energy Geothermal Hendra Soetjipto Tan, dan Duta Besar Selandia Baru untuk Indonesia H.E. Kevin Burnett, ONZM.
Pada kesempatan tersebut, Direktur Utama PGE Julfi Hadi menyampaikan bahwa panas bumi memiliki karakteristik unggul sebagai pemikul beban dasar kelistrikan (baseload energy) yang menjadikannya ideal untuk menggantikan sumber energi konvensional. Namun, baru sekitar 2,6 GW atau 11% dari sumber daya yang sudah dikembangkan. Padahal, untuk mencapai target kapasitas 10,5 GW pada 2035 sesuai dengan target bauran energi nasional, dibutuhkan penambahan kapasitas 700-800 MW setiap tahun. Tantangan utamanya adalah keekonomian proyek panas bumi.
“Pengembangan energi panas bumi di Indonesia perlu strategi khusus untuk meningkatkan daya tarik komersial tanpa menaikkan harga jual listrik yang telah ditentukan pemerintah. Adopsi teknologi terbaru untuk meningkatkan efisiensi serta skala operasi yang lebih besar diperlukan untuk menurunkan biaya dan membuat proyek pengembangan lebih layak secara ekonomi,” kata Julfi Hadi dalam paparannya mengenai strategi pengembangan panas bumi yang membutuhkan perubahan paradigma di kalangan pelaku industri dan pemangku kepentingan.
Julfi Hadi juga menekankan bahwa upaya menciptakan ekosistem yang ideal untuk percepatan pengembangan energi panas bumi memang membutuhkan kapasitas yang kuat dari pengembang panas bumi. Dalam hal ini, skala usaha dan sumber daya yang dimiliki pengembang panas bumi menjadi kuncinya.
“PGE dengan keunggulan kompetitifnya mampu memberikan dukungan untuk mewujudkan ekosistem yang ideal untuk percepatan pengembangan panas bumi. PGE memiliki sumber daya 3 GW di seluruh wilayah kerjanya yang 60%-nya merupakan aset panas bumi berkualitas tinggi. PGE memiliki kapasitas untuk menjalankan strategi itu.”
Kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan juga merupakan elemen penting dalam menciptakan ekosistem yang ideal untuk pengembangan energi panas bumi. PGE juga bekerja sama erat dengan pemerintah untuk memastikan inisiatifnya sejalan dengan agenda transisi energi nasional. Selain itu, PGE bermitra dengan sejumlah perusahaan Tanah Air untuk manufaktur komponen utama pembangkit listrik panas bumi seperti heat exchanger dan cooling tower guna meningkatkan kandungan lokal dan menekan biaya.
Dukungan dari pemerintah berupa insentif fiskal dan non-fiskal, serta implementasi mekanisme cost recovery, sangat penting untuk mengurangi risiko investasi awal dan mempercepat pengembanan panas bumi.
“PGE berperan sebagai main engine dalam upaya Indonesia menuju energi bersih, tidak hanya dengan gagasan baru tetapi juga melalui tindakan nyata. Namun, PGE dan juga Pertamina tidak bisa bekerja dan menyelesaikan semua tantangan tersebut sendiri. Kami berharap semua pemangku kepentingan dapat berkolaborasi bersama-sama,” tutup Julfi Hadi.
***
Tentang PT Pertamina Geothermal Energy Tbk.
PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) (IDX: PGEO) merupakan bagian dari Subholding Power & New Renewable Energy (PNRE) PT Pertamina (Persero) yang bergerak di bidang eksplorasi, eksploitasi, dan produksi panas bumi. Saat ini PGE mengelola 15 Wilayah Kerja Panas Bumi dengan kapasitas terpasang sebesar 1.877,5 MW, terbagi 672,5 MW yang dioperasikan dan dikelola langsung oleh PGE dan 1.205 MW dikelola dengan skema Kontrak Operasi Bersama. Kapasitas terpasang panas bumi di wilayah kerja PGE berkontribusi sekitar 80% dari total kapasitas terpasang panas bumi di Indonesia, dengan potensi pengurangan emisi CO2 sebesar sekitar 9,7 juta ton CO2 per tahun.
Sebagai world class green energy company, PGE ingin menciptakan nilai dengan memaksimalkan pengelolaan end-to-end potensi panas bumi beserta produk turunannya serta berpartisipasi dalam agenda dekarbonasi nasional dan global untuk menunjang Indonesia net zero emission 2060. PGE memiliki kredensial ESG yang sangat baik dengan 16 penghargaan PROPER Emas sejak 2011 sampai 2023 dalam penghargaan kepatuhan lingkungan tertinggi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Peringkat & Keterlibatan ESG.